Wednesday, May 29, 2013

ETIKA BERBAHASA INDONESIA


ETIKA BERBAHASA INDONESIA
        Berbicara tentang etika sama halnya berbicara tentang sopan santun atau tata karma. Sedangkan kegiatan berbahasa adalah melakukan komunikasi dengan orang lain baik lisan maupun tulis, baik dengan menggunakan media cetak maupun elektronik. Dalam berkomunikasi diharapkan menggunakan etika yang baik sehingga orang lain dapat merespon bahasa kita bengan baik pula.
        Dalam berbahasa kita memerlukan diksi yang tepat dan sesuai dengan kondisinya baik situasi resmi maupun tidak resmi. Misalnya dalam kegiatan berdiskusi, berpidato, dan presentasi atau bentuk kegiatan formal lainnya. Bahasa yang kita gunakan haruslah menggunakan diksi yang baik pula. Serta tidak menimbulkan makna taksa atau ambigu.
         Dalam semantik atau ilmu yang mempelajari pergeseran makna kata, kita mengenal istilah ameliorasi. Ameliorasi adalah perubahan makna kata yang lebih baik, lebih indah, lebih terhormat daripada bermakna Peyorasi. Peyorasi adalah perubahan makna kata yang lebih rendah, lebih jelek, dan kurang sopan bila kita gunakan. Untuk itu, bahasa-bahasa yang amelioratiflah yang perlu kita kembangkan dalam berbahasa.
Contoh bahasa ameliorasi:
  1. Istri Pak Bejo sedang hamil
  2. Tunawisma yang ada di Jakarta perlu mendapat penyuluhan kesehatan.
  3. Pariyem menjadi pramuwisma di Surabaya.
  4. Karyawan yang ada di perusahaan Pak Budi mendapat jamsostek.
Kata- kata yang digunakan dalam kalimat di atas menggunakan makna yang lebih baik. Seperti terlihat pada kata  istri, hamil, tunawisma, pramuwisma, karyawan. Kata-kata tersebut akan bermakna rendah atau peyorasi bila diganti dengan kata bini, bunting, gelandangan, babu, buruh. Tentu saja hal ini sangat mempengaruhi nilai etika dalam berbahasa.
Kata-kata yang menimbulkan makna baik lainnya antara lain; tunagrahita, tunadaksa, tunawicara, pramuria, pramusaji, pramuniaga, pramuwisma, pramugari dan lain lain.
        Dalam gaya bahasa, kita juga mengenal majas eufemisme. Majas eufemisme adalah gaya bahasa yang menimbulkan makna baik.
Contoh majas eufemisme:
  1. Permisi Bu, saya mau ke kamar kecil.
  2. Pasien itu sedang berada di ruang bersalin.
  3. Maaf, anak Bapak agaknya kurang waras.
  4. Anak itu kurang cerdas dibanding teman-temannya.
Pilihan kata kamar kecil dan ruang bersalin, kurang waras, kurang cerdas, tampaknya lebih tepat daripada kencing dan beranak, gila, goblok. Dalam bertutur kata, kita juga harus menghindari majas sarkasme. Majas sarkasme adalah majas sindiran karar dahkan menyerupai bahasanya orang yang sedang mengumpat.
Contoh gaya bahasa sarkasme:
  1. Cih, jijik aku melihatmu!
  2. Mulutmu bau bangkai!
  3. Dasar tolol!
Gaya bahasa sarkasme hendaknya dihindari dalam berkomunikasi.  Hal ini karena sangat bertentangan dengan etika berbahasa. Di samping itu juga akan menimbulkan emosi bagi orang lain. Bila emosi sudah mewarnai dalam pembicaraan maka dampak buruk bisa saja terjadi. 
         Selain makna yang kita perhatikan dalam berkomunikasi, kita juga harus memperhatikan sikap kita saat berbicara. Karena sikap juga mempengaruhi etika dalam berkomunikasi. Bersikaplah yang wajar dan sopan. 





Tags :