Thursday, June 27, 2013

ASKEP ANOSMIA

Askep Anosmia , adalah hilang atau terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu objek karena beberapa sebab.
Pengertian
Istilah anosmia berasal dari kata Yunani “an” (tidak) dan “osmia” (membau).Jadi anosmia adalah hilang atau terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu objek karena beberapa sebab.
Anosmia adalah kelainan pada indra penciuman atau dalam kata lain ketidakmampuan seseorang mencium bau.Anosmia bisa berupa penyakit yang berlangsung sementara maupun permanen.
(http:// id.widkipedia.org/wiki/anosmia)
Anosmia merupakan suatu tidak adanya/hilangnya sensasi penciuman, dalam hal ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera ketidakmampuan seseorang mencium bau.anosmia bisa berupa penyakit yang penciuman. Hilangnya sensasi ini bisa parsial ataupun total.
Kasus ini di sebut anosmia spesifik dan kemungkinan di sebabkan oleh gen.
Anosmia terbagi menjadi dua (2) yaitu:
1.    Intranasal : obstruksi hidung (rhinitis vasomotor, rhinitis alergi, tumor hidung, polip, tumor nasofaring), Rhinitis atrofikan, def.vitamin A, Zinc
2.    Intrakranial : trauma kepala, infeksi (abses otak lob.frontalis, meningitis pd lob.frontalis), tumor lob.fr.

2.2 Etiologi
1.    Defek konduktif
a.    Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
b.    Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung sehinga menghalangi aliran adorant / ke epitel olfaktorius.
c.    Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.
d.     Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hisposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. (Kris, 2008).
2.    Defek sentral / sensorineural
a.    Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral gangguan pada transmisi sinyal.
b.    Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur syaraf.
c.    Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
d.    Toksitisitas dari obat – obatan sistemik dan inhalasi
e.    Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengarui pembauan. (Kris.2008).
3.    Faktor resiko
a.    Proses degenerative patologi (penyakit Parkinson, Alzheimer)
b.     Proses degenaratife normal (penuaan)
c.     Lingkungan
d.    Perokok
e.    Pencemaran bahan kimia
f.    Cuaca
g.     Virus bakteri pathogen
h.    Usia: Dengan bertambahnya usia seseorang jumlah neuron olfaktorius lambat laun akan berkurang sehingga mengurangi daya penciuman.
i.    Jenis kelamin: Perempuan lebih beresiko menderita anosmia karena jumlah bulu hidung relative lebih sedikit daripada pria dan imunitas yang kurang sehingga beresiko terhadap infeksi pada hidung.

2.3 Manifestasi Klinis
Keluhan pasien:
•    Anosmia unilateral jarang menjadi keluhanàdapat dikenali dengan menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung.
•    Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter.
•    Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman.
Tanda dan gejala yang lain adalah sebagai berikut:
1.    Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa mendeteksi bau.
2.    Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa mendeteksi seluruh bau.
3.    Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.
4.    Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat dideteksi)
5.     Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan yang di makan.
6.    Berkurangnya nafsu makan.

2.4 Patofisiologi
Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan kimia(chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekul–molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel–sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti. Sel–sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekul–molekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane.
Manusia memiliki kira–kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara masuk, maka sel–sel ini mengirimkan impuls saraf (Loncent, 1988). Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel–sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk.
                
2.5 Pathway (Terlampir)

2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi neuroepitelium olfaktorius.
Namun, karena degenerasi neuroepitelium olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
2. CT scan
 Kelainan tulang, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya
3.    MRI kepala
mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus
menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior,, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis.



2.7 Pemeriksaan Sensori
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk:
a.    Memastikan keluhan pasien
b.    Mengevaluasi kemanjuran terapi, dan
c.    Menentukan derajat gangguan permanen.
Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif.
Langkah  pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu:
a.    Tes Odor stix–Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b.    Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
c.    Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
d.    The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip seperti bau coklat, pisang, bawang putih, atau jus buah,” dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.

Langkah kedua menentukan ambang deteksi

Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

Terapi
•    Kurang penciuman hantaran, seperti : rinitis alergi, rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung
•    Terapi à dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi.
•    Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau:
    (1) pengelolaan alergi;
    (2) terapi antibiotik;
    (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal;
    (4) operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.



Terapi Kurang Penciuman Sensorineural
Dalam terapi ini tidak ada terapi khusus karena sering terjadi  penyembuhan secara spontan.
Terapi Seng
•    Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan
Terapi vitamin (sebagian besar berbentuk vitamin A)
•    Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, tapi bukan masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat.
•    Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anosmia adalah sebagai berikut:
1.    Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai penciuman antara lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi
2.    Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
3.    Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan dekongostan nasal.
4.    Suplemen zink kadang direkomendasikan
5.    Kerusakan neuro olfaktorius  akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak dapat di obati.
6.    Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A





BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 . Pengkajian
Pengkajian Pola Gordon
1. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menjaga kesehatan?
Bagaimana cara menjaga kesehatan?
Saat  sakit:
Apakah klien tahu tentang penyakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
Apa yang dilakukan jika rasa sakitnya timbul?
Apakah pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
2.   Nutrisi metabolik
Sebelum sakit:
Makan/minum; frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan seperti vitamin?
Saat sakit:
Apakah klien merasa mual/muntah/sulit menelan?
Apakah klien mengalami anoreksia?
Makan/minum: frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
3.  Eliminasi
Sebelum sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, warna,konsistensi, keluhan nyeri?
Apakh mengejan saat buang air besar atau buang air kecil sehingga berpengaruh pada pernapasan?
Saat sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, waktu, warna, konsistensi, keluhan nyeri?
4.  Aktivitas dan latihan
Sebelum sakit:
Apakah bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Apakah mengalami kelelahan saat aktivitas?
Apakah mengalami sesak napas saat beraktivitas?
Saat sakit:
Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas (pendidikan kesehatan, sebagian, total)?
Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak, batuk)?
5.  Tidur dan istirahat
Sebelum sakit:
Apakah tidur klien terganggu?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/atau malam ?
Kebiasaan sebelum tidur?
Saat sakit:
Apakah tidur klien terganggu, penyebab?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/ atau malam) ?
Kebiasaan sebelum tidur?
6.   Kognitif dan persepsi sensori
Sebelum sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja?
Apakah menggunakan alat bantu (kacamata)?
Saat sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami nyeri (PQRST)?
Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja?
Apakah merasa pusing?
7.  Persepsi dan konsep diri
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menggambarkan dirinya?
Saat sakit:
Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan penyakitnya?
Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya?
8.  Peran dan hubungan dengan sesama
Sebelum sakit:
Bagaimana hubungan klien dengan sesama?
Saat sakit:
Bagaimana hubungan dengan orang lain (teman, keluarga, perawat, dandokter)?
Apakah peran/pekerjaan terganggu, siapa yang menggantikan?
3.2. Diagnosa dan intervensi keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan penciuman.
2. Ganggua persepsi sensori berhubungan dengan hilangnya sensasi      penciuman.
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan berkurangnya istirahat tidur.

Tags :