Tuesday, June 11, 2013

PENYAKIT TALASEMIA SUATU GANGGUAN DARAH

PENYAKIT β-TALASEMIA (ANEMIA COOLEY)
Istilah talasemia, yang berasal dari kata Yunani thalassa dan memiliki makna “laut” digunakan untuk sejumlah kelainan darah bawaan yang ditandai dengan defisiensi pada kecepatan produksi rantai globlin yang spesifik dalam Hb. Nama tersebut secara tepat mengacu kepada keturunan orang-orang yang tinggal didekat laut Mediteranean, yang memiliki insidensi tertinggi terkena penyakit talasemia, yaitu masyarakat Italia, Yunani, dan Suriah. Bukti menunjukan bahwa insiden penyakit tinggi diantara kelompok populasi ini merupakan akibat dari manfaat sifat pembawa tertentu yang melindungi mereka terhadap penyakit malaria, sebagaimana halnya dalam hipotesis penyakit sel sabit. Kendati demikian, kelainan ini memiliki distribusi geografik yang luas, mungkin terjadi karena migrasi genetik antar perkawinan atau mungkin karena mutasi spontan.

Penyakit β-talasemia paling sering dijumpai di antara semua jenis penyakit talasemia dan terdapat dalam tiga bentuk : bentuk heterozigot, talasemia minor atau sifat pembawa talasemia, yang menghasilkan anemia mikrositik ringan; talasemia intermedia, yang dimanifestasikan dengan splenomegali dan anemia sedang hingga berat, dan bentuk hemozigot, yakni talasemia mayor (yang juga dikenal dengan nama anemia cooley), yang menimbulkan anemia berat kemudian diikuti dengan gagal jantung dan kematian dalam awal masa kanak-kanak jika tidak mendapatkan transfusi darah.
Patofisiologi
Hb pascanatal yang normal dari rantai polipeptida 2α- dan 2 β-. Pada penyakit β-talasemia terdapat defisiensi parsial atau total pada sintesis rantai-β dalam molekul Hb. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa peningkatan sintesis rantai-α , sementara produksi rantai-y tetap aktif, menghasilkan pembentukan Hb yang cacat. Unit polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil , ketika terurai polipeptida akan menghancurkan sel darah merah, menghasilkan anemia berat.
Untuk mengimbangi proses hemolitik, akan dibentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi. Zat besi yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah tambahan dari transfusi dan akibat penghancuran sel-sel cacat yang cepat akan disimpan dalam berbagai organ tubuh (hemosiderosis)

Evaluasi Diagnostik
Awitan talasemia mayor dapat berlangsung secara peralahan tanpa dikenali sampai paruh kedua masa bayi. Efek klinis talasemia mayor terutama menyebabkan (1) defektif sintesis HbA, (2) gangguan sel darah merah secara struktural, dan (3) pemendekan usia eritrosit (kotak 26-4).


FOKUS KELUARGA
Ketakutan Adiksi
Meskipun biasanya terdapat rasa nyeri hebat dan pemakaian opioid bisa dibenarkan, banyak keluarga merasa takut kalau-kalau anaknya akan mengalami adiksi (kecanduan) terhadap narkotika. Sayangnya, para professional kesehatan yang mendapat informasi keliru dapat menambah rasa takut yang tidak berdasar ini, menyebabkan penderitaan yang seharusnya tidak terjadi. Sedikit, jika ada anak yang mendapat terapi opioid untuk mengatasi rasa nyeri hebat yang memperlihatkan perilaku adiktif terhadap obat tersebut (Gribbsons, Zahr, dan Opas, 1995). Keluarga dan anak yang lebih besar khususnya remaja, perlu diyakinkan bahwa opioid merupakan indikasi medis, dosis yang tinggi mungkin diperlukan, dan peristiwa adiksi jarang dijumpai.
Pemeriksaan hematologi mengungkapkan perubahan yang khas pada sel darah merah (yaitu, mikrositosis, hipokromia, anisositosis, poikilositosis, sel-sel target dan baso philic stipling [bercak-bercak berbentuk batang] pada berbagai stadium). Kadar Hb dan hematokrit (Ht) yang rendah terlihat pada anemia berat, walaupun kedua angka tersebut secara khas lebih rendah dibandingkan angka penurunan jumlah eritrosit karena proliferasi eritrosit yang imatur. Hasil pemeriksaan elektroforesis Hb akan memastikan diagnosis, dan foto rosen/radiograf tulang yang terkait akan mengungkapkan gambaran yang khas.

Penatalaksanaan Terapeutik
Terapi suportif bertujuan mempertahankan kadar Hb yang cukup untuk mencegah ekspansi sumsum tulang dan deformitas tulang yang diakibatkannya, serta menyediakan eritrosit dengan jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitas fisik yang normal. Tansfusi darah merupakan dasar penatalaksanaan medis. Studi terbaru telah mengevaluasi manfaat mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl, suatu tujuan yang memerlukan terapi transfusi setiap 3 minggu sekali. Keuntungan terapi ini meliputi (1) peningkatan kesehatan fisik dan psikologis karena anak mampu turut serta dalam aktivitas normal, (2) penurunan kardiomegali dan hepatosplenomegali, (3) perubahan pada tulang lebih sedikit, (4) pertumbuhan dan perkembangan normal atau mendekati normal sampai usia pubertas, dan (5) frekuensi infeksi lebih sedikit.
Salah satu komplikasi yang potensial terjadi pada seringnya terapi transfusi adalah kelebihan muatan zat besi. Karena tubuh tidak memiliki cara efektif untuk mengeliminasi zat besi yang berlebihan maka mineral tersebut akan ditimbun di dalam jaringan tubuh. Untuk meminimalkan terjadinya hemosiderosis dapat diberikan deferoksamin (Desferal)- suati agens kelasi-zat besi-bersama dengan suplemen oral vitamin C dalam dosis kecil. Vitamin C hanya boleh diberikan pada pasien-pasien yang mengalami deplesi askorbat dan hanya pada saat deferoksamin diberikan. Ketika kadar feritin turun mendekati nilai normal, peranan vitamin C dalam meningkatkan ekskresi zat besi akan menghilang (Benz dan Giardina, 1995). Deferoksamin deberikan melalui intravena atau subkutan, yang sering kali diberikan di rumah dengan menggunakan pompa infus portabel selama 8 hingga 24 jam (biasanya selama waktu tidur) selama 5 hingga 7 hari dalam seminggu. Deferoksamin juga diberikan secara intravena selama periode 4 jam pada saat dilakukan transfusi darah (Benz dan Giardina, 1995). Berbagai strategi kreatif seperti kontrak perilaku pernah dilaksanakan untuk membantu anak mematuhi regimen pengobatan dengan deferoksamin.
Pada sebagian anak dengan splenomegali berat yaitu menunjukan peningkatan kebutuhan transfusi, tindakan splenektomi mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan abdomen yang membuat anak tidak berdaya dan untuk memperpanjang usia sel darah merah yang ditambahkan lewat transfusi. Setelah melewati periode waktu tertentu, limpa dapat mempercepat laju destruksi sel darah merah sehingga meningkatkan kebutuhan transfusi. Setelah splenektomi, umumnya anak-anak tersebut lebih sering memerlukan transfusi darah, walaupun defek dasar pada sintesis Hb tetap tidak dipengaruhi. Komplikasi masa pascasplenektomi adalah infeksi yang berat dan sangat banyak. Oleh karena itu, anak-anak yang menjalani splenetomi harus terus mendapat terapi antibiotik profilaksis dengan pengawasan medis yang ketat selama bertahun-tahun dan harus memperoleh vaksin pneumokosus dan meningmokosus selain memperoleh  imunisasi yang dijadwalkan secara rutin.
Kewaspadaan Keperawatan Pastikan agar keluarga/pasien memahami perlunya melapor kepada professional tenaga kesehatan untuk semua gejala demam dengan suhu 38,5o C atau lebih karena terdapat resiko sepsis pada anak asplenia.
Prognosis. Sebagian besar anak yang mendapatkan transfusi darah dan terapi kelasi dini akan dapat hidup dengan baik sampai usia dewasa. Penyebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung yang diinduksi dan kemudian diikuti dengan infeksi, penyakit hati  ,,maligansi (Benz dan Giardina 1995). Terapi yang menentukan bagi sebagian anak adalah transplantasi sumsum tulang. Pada sebuah studi, anak-anak berusia di bawah 16 tahun yang menjalani transplantasi sumsum tulang alogenik menunjukan angka keberhasilan hidup pada komplikasi sebesar 59% hingga 98% (Giardina, Walter dan Thomas, 1994

SEKIAN POTINGAN SAYA TENTANG PENYAKIT TALASEMIA untuk PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN KLIK DISINI