Monday, July 1, 2013

askep status epileptikus

askep status eleptikus, Epilepsi dan status epileptikus merupakan bagian dari gejala konvulsif. Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan dari fungsi otak dengan karakteristik kejang berulang.
2.1    Definisi status epileptikus
Epilepsi dan status epileptikus merupakan bagian dari gejala konvulsif. Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan dari fungsi otak dengan karakteristik kejang berulang.
Serangan kejang yang merupakan gejala atau manifestasi utama epilepsy dapat diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik, atau psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol, serta timbul secara episodik. Serangan ini mengganggu kelangsungan kegiatan yang sedang dikerjakan klien pada saat itu. Serangan ini berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral yang berlebih dan berlangsung lokal.
Masalah dasarnya diperkirakan akibat gangguan listrik (disritmia) pada sel syaraf disalah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebih ini.
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagai macam penyabab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

2.2    Klasifikasi status epileptikus
Ada dua golongan utama dari epilepsy, yaitu serangan parsial atau fokal yang mulai pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya didaerah korteks serebri; dan serangan umum yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon.
Epilepsi Parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup gejala-gejala motorik atau sensorik.
Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar atau mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, mengalami sinar, bunyi, ban, atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.
Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan proses berfikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan atau peka rangsangan. Focus epileptik pada jenis epilepsi ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan umum (motorik utama).
Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Mungkin ada kekakuan pada seliruh tubuh yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot. (Muttaqin, Arif.2008)

2.3    Etiologi status epileptikus
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1.    Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
2.    Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus
3.    Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.

Faktor pencetus Status Epileptikus :
1)    Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2)    Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
3)    Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
4)    Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi

2.4    Manifestasi Klinis status epileptikus
Pada SE konvulsivus manifestasi klinis dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut:
1.    Pre-status, adalah suatu fase sebelum status yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya SE.
2.    Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana aktivitas serangan konvulsif terus-menerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis.
3.    Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit, yang mana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan terjadilah perubahan-perubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh.
4.    Refracter status jika kejang berlangsung lebih dari 60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan antikonvulsan lini pertama.
5.    Substle status/super refrakter status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma dengan aktivitas motorik menjadi terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching) sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan gambaran EEG menjadi flat di antara letupan-letupan epileptiform (burt-supression pattern).
2.5    Pathofisiologi status epileptikus
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1.    Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2.    Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3.    Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4.    Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
2.6    Pathway (Terlampir)

2.7    Pemeriksaan Penunjang status epileptikus
1.    Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
2.    Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
3.    Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak  dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.

2.8    Komplikasi
1)    Iskemik jaringan otak
2)    AMI
3)    Apneu
4)    Hipertensi

2.9    Penatalaksanaan status epileptikus
Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah sebagai berikut:
A.    Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama), yaitu ABC:
1.    Airway: Bebaskan jalan nafas
2.    Breathing: Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas
3.    Circulation: Pertahankan/ perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan
B.    Hentikan kejang secepatnya
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama):
Pilihan I: Golongan Benzodiazepin (Lorazepam, Diazepam)
Pilihan II: Phenytoin
Pilihan III: Phenobarbital
C.    Pemberian obat anti kejang lanjutan
D.    Cari penyebab status epileptikus
E.    Penatalaksanaan penyakit dasar
F.    Mengatasi penyulit
Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan Midazolam, atau Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital) atau Inhalasi dengan bahan isoflurane.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1    Pengkajian status epileptikus
1.    Riwayat adanya faktor-faktor penyebab :
a.    Idiopatik -tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi
b.    Pasca trauma-cedera kepala,lesi otak yang menyebabkan desak ruang (tumor, aneurisma, hematoma), inflamasi selaput otak, demam tinggi, dan gangguan metabolik
2.    Dapat riwayat kejang. Pasien mungkin tidak dapat memberikan informasi mengenai perilakunya selam atau setelah kejang kecuali ada saksi yang memberitahu pasien. Bila mungkin bicaralah dengan orang yang menyaksikan. Tanya pasien hal-hal berikut:
    Berkaitan dengan kejang
-    Pernahkah anda mengalami kejang? Jika ya apa yang terjadi saat kejang dan berapa lama berakhir?
-    Apakah anda mengalami aura (sensasi atau tingkah laku yang tidak biasa) sebelum kejang?
-    Apa yang terjadi setelah kejang?
-    Seberapa sering anda mengalami kejang?
-    Adakah sesuatu yang khusus yang menyebabkan kejang?
-    Kapan kejang berakhir yang anda alami?
-    Apakah setelah kejang berakhir, anda menyadari kalau baru saja mengalami kejang?
-    Apa yang anda rasakan setelah kejang?
    Berkaitan dengan obat-obatan :
-    Obat apakah yang anda gunakan untuk mengontrol aktifitas kejang?
-    Kapan obat berakhir digunakan untuk mengontrol aktifitas kejang?
-    Apakah anda juga menggunakan obat-obat yang lain?
3.    Pemeriksaan diagnostik
-    EEG, CT scan atau MRI (Magnetic Resonan Imaging), dan pemeriksaan metabolisme menggambarkan kondisi patologis
-    Kadar anti konvulsan serum (bila digunakan) diperiksa untuk menentukan adekuat-tidaknya terapi obat.
4.    Gali informasi tentang gaya hidup yang mungkin mencetuskan kejang atau serangan
5.    Kaji pemahamanya tentang kondisi, pengobatan dan kemandirianya setelah pulang.
6.    Kaji perasaan pasien tentang kondisinya dan dampaknya terhadap gaya hidup.
(Engram, Barbara. 1998)
3.2    Diagnosa
1.    Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang berulang, penurunan tingkat kesadaran.
2.    Nyeri akut berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang (postikal).
3.    Ansietas berhubungan dengan kejang berulang
4.    Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan suplai O2 turun

3.3    Intervensi
1.    Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang berulang, penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan    : Dalam waktu 1x24 jam perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria hasi    : Klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk merunkan intensitas kejang



Berikut adalah postingan saya mengenaiaskep status epileptikus yang semofa bermanfaat buat anda
Tags :