Tuesday, June 25, 2013

Askep Cedera Kepala

Askep Cedera Kepala, Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalam substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271)
Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak baik truma tumpul maupun trauma tajam yang mengakibatkan tergangunya fungsi neurologis tanpa diikuti dengan terputusnya kontinuitas otak

B.    Klasifikasi Cidera Kepala
1.    Trauma kepala juga dapat di kategorikan menurut keadaan pasca trauma :
a.    Tertutup.
Merupakan hasil dari trauma accelerasi/decelerasi. Trauma ini melibatkan struktur dalam kepala seperti substansi otak, CSF dan seluruh pembuluh darah. Selama proses akselerasi / deselerasi akan menimbulkan kerusakan di beberapa tempat. Saat terjadi benturan. Saat terjadi benturan otak bergerak, hal ini dapat menyebabkan adanya luka pada jaringan otak, kerusakan pembuluh darah dan syaraf yang kemungkinan akan terjadi perputaran otak.
Trauma kepala tertutup ini bisa menyebabkan :
1)    Confusion dengan karakteristik hilang kesadaran yang terjadi dalam waktu singkat
2)    Confusion yang bisa beraikbat pada memar pada jaringan otak
3)    Laserasi dapat terjadi pada pembuluh darah dan akan memicu untuk terjadinya terdarahan sekunder
b.    Terbuka
Keadaan ini terjadi apabila kepala berbenturan dengan benda tajam seperti pisau, peluru sehingga luka menghubungkan antara udara luar dengan isi rongga kepala. Kerusakan yang terjadi tergantung pada kecepatan objek yang menembus tulang tengkorak dan lokasi otak yang terkena objek. Jika kecepatan objek tinggi makan kan menghasilkan tenaga perusak yang lebih besar dan akan berakibat
2.    Klasifikasi cidera kepala berdasarkan Glascow coma scale ( GCS)
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala
a.    Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b.    Cedera Kepala Sedang ( CKS)
                  GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c.    Cedera Kepala Berat (CKB)
              GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
3.    Klasifikasi cidera kepala berdasarkan morfologi pencitraan atau radiologi
Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :
a.    Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI --- Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
b.    Kontsuio cerebri --- Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
c.    Edema cerebri --- Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
d.    Iskemia cerebri --- Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
(Muhammad Judha & Nazwar Hamdani Rahil. 2011)

C.    Etiologi
Cidera kepala  dapat disebabkan karena :
1.    Kecelakaan lalu lintas
2.    Terkena peluru
3.    Terjatuh
4.    kecelakaan industri
5.    kecelakaan olah raga
6.    luka persalinan pada bayi baru lahir
7.    Penyalahgunaan alkohol
8.    Penyalahgunaan obat
(Muhammad Judha & Nazwar Hamdani Rahil. 2011)

D.    Patofisiologi Cedera Kepala
Patofisiologi cedera kepala menurut Suriadi dan Rita Yuliani, (2001). Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah, jaringan otak dan jaringan serebrospinal. Fungsi serebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang dialami dapat gagar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan perdarahan terjadi antara durameter dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur depresi, fraktur basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang).
E.    Pathway
PATHWAY CEDERA KEPALA

F.    Manifestasi Klinis
Berdasarkan anatomis
1.    Gegar otak (combutio selebri)
a.    Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
b.    Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c.    Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d.    Kadang amnesia retrogard
2.    Edema serebri
a.    Pingsan lebih dari 10 menit
b.    Tidak ada kerusakan jaringan otak
c.    Nyeri kepala, vertigo, muntah
3.    Memar otak (kontusio selebri)
a.    Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung lokasi dan derajad
b.    Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c.    Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d.     Penekanan batang otak
e.    Penurunan kesadaran
f.    Edema jaringan otak
g.    Defisit neurologis
h.    Herniasi
4.    Laserasi
a.    Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
1)    kacau mental → koma
2)    gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3)    pupil isokhor → anisokhor
b.    Hematoma subdural
1)    Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2)    Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidural
3)    Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-bulan
4)    Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5)    perluasan massa lesi
6)    peningkatan TIK
7)    sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8)    disfasia
c.    Perdarahan sub arachnoid
1)    Nyeri kepala hebat
2)     Kaku kuduk
(Hudak dan Gallo, 1996 hal. 226)

G.    Komplikasi
1.    Oedem cerebal
2.    Infeksi
3.  HIDROSEFALUS
4.    Diabetes Insipidus
5.    Disritmia
6.    Oedem pulmo
7.    Post trauma respon
(Muhammad Judha & Nazwar Hamdani Rahil. 2011)

H.    Pemeriksaan Penunjang
Untuk menunjang diagnosa terjadinya cidera kepala maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu sebagai berikut:
1.    Spinal X ray : Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).
2.    CT Scan : Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti
3.    Myelogram : Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
4.    MRI (Magnetic Imaging Resonance) : Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5.    Thorax X ray;Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6.    Angiografi Serebal : Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan atau trauma.
7.    EEG : untuk memperlihatkan berkembangnya gelombang patologis,
8.    BAER : menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9.    PET : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme otak .
10.    Pemeriksaan fungsi pernafasan : Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cedera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
11.    Fungsi Lumbal : menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
12.    Analisa Gas Darah : Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan
(Muhammad Judha & Nazwar Hamdani Rahil. 2011)

I.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi  ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia  serebri yang terjadi. Keadaan ni dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial, ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat  intermitten, iatrogenic paradisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan kraanial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1.    Bedrest total.
2.    Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3.    Pemberian obat-obatan, seperti:
a.    Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b.    Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi vasodilatasi.
c.    Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
d.    Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4.    Makanan atau cairan
a.    Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
b.    Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 hal. 284-285)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
A.    Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
1.    Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
2.    Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut – ngebutan.
3.    Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat – obat       antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
4.    Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
5.    Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
6.    Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
Keadaan umum:
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
B.    Diagnosa Keperawatan
1.    Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif, motorik, dan afektif (gangguan muskuloskeletal).
2.    Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi.
3.    Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan dengan aliran arteri dan atau vena terputus.
4.    Resiko ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas.
5.    Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah.
6.    Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan
7.    Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri

Baca Juga :
Cara Membuat Fans Page
Menu Makanan Bayi Yang Sehat
Tags :